Wahhabi, Antara Tuduhan Dan Fakta
WAHHÂBI, ANTARA TUDUHAN DAN FAKTA
Penyematan kata “Wahhâbi” telah membentuk pencitraan negatif, bila tidak bisa disebut sebagai celaan. Asumsi dari penyematan ini, bahwa “seakan” semua orang yang berbeda dengan lapisan masyarakat tertentu dalam masalah agama, baik ilmu, amal maupun keyakinan mendapatkan julukan ini. Bahkan sebagian orang ada yang tidak peduli, apakah perbedaan itu didasari dalil-dalil atau tidak? Anggapan mereka “setiap yang berbeda” berarti Wahhâbi.
Wahhâbi dalam versi orang-orang yang tak paham ini adalah gelar yang disematkan kepada para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhâb rahimahullah , salah seorang ulama kharismatik. Dilahirkan di tengah keluarga Ulama yang bila ditinjau dari sisi kedudukan, berasal dari keluarga terpandang. Ataupun bila ditinjau dari sisi ekonomi juga bukan dari keluarga miskin, karena orang tua maupun kakeknya adalah Qâdhî. Beliau dilahirkan di ‘Uyainah pada tahun 1115 H, atau kurang lebih tahun 1703 M.
Berbagai tuduhan diarahkan kepada beliau rahimahullah . Misalnya, beliau rahimahullah dituduh tidak memiliki guru, tidak mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ahlul bait, tidak mencintai orang-orang shâlih. Bahkan ada yang menggambarkan Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhâb rahimahullah sebagai pribadi yang haus darah, mudah mengkafirkan kaum Muslimin yang tidak sependapat dengan beliau rahimahullah . Dan yang lebih menyeramkan lagi, ada yang mengaitkan beliau rahimahullah dengan dajjal, hanya dikarenakan tempat kelahiran beliau yang dianggap sama dengan tempat kemunculan dajjal. Orang yang mengikuti dakwah beliau rahimahullah juga mengalami hal yang tidak jauh beda dengan beliau rahimahullah .
Di antara alasan penolakan para penentang dakwahnya adalah karena mereka menganggap Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhâb rahimahullah tidak mencintai Rasûlullâh dan ahlul bait. Apakah tuduhan ini benar? Berbicara tentang cinta, itu adalah urusan hati yang keberadaan dan kadarnya tidak bisa diketahui orang lain. Hanya Allâh Azza wa Jalla dan kemudian si pelakunya yang mengetahui. Adapun orang lain, dia akan mengetahuimya setelah diberi tahu atau melihat indikasi yang nampak dari si pelaku dalam menunjukkan kecintaannya itu. Indikasi itu, di antaranya disebutkan dalam al-Qur`ân, yaitu dengan mengikuti ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Katakanlah (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” [Ali Imrân/3 : 31]
Dan demikian itu juga yang dilakukan para sahabat dalam membuktikan cinta mereka kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Abdullâh ibnu Umar Radhiyallahu anhuma misalnya, beliau Radhiyallahu anhuma terus berusaha mengikuti semua tindakan yang pernah dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik saat berada di Madinah maupun ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Semestinya indikasi ini menjadi perhatian kita untuk mengukur kadar dan bukti kecintaan tersebut; ada cinta dalam hati ataukah tidak ? Ataukah hanya sekedar pengakuan kosong? Dan ternyata fakta di lapangan, para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhâb rahimahullah sangat antusias menjalankan Sunnah meski ditentang banyak orang. Fakta ini, mestinya mendorong kita untuk husnuzhan dan tidak mencurigai mereka, apalagi menuduhnya dengan tuduhan keji.
Permasalahan penting lain yang dituduhkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhâb rahimahullah dan para penyambut dakwahnya yaitu mudah menjatuhkan vonis kafir kepada kaum Muslimin. Tuduhan ini tentu perlu pembuktian, karena ini merupakan permasalahan berat dan penting. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا
Jika ada seseorang yang mengatakan kepada saudaranya “wahai orang kafir” maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya. [HR al-Bukhâri].
Jika anggapan itu sesuai dengan kenyataan, maka yang mengatakannya selamat. Sebaliknya, jika anggapan itu tidak sesuai, maka yang mengatakannya akan menanggung akibat yang sangat buruk. Sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb rahimahullah, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul-Lathîf bin Abdirrahmân Âlu Syaikh, bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb rahimahullah termasuk orang yang paling menjaga dan menahan diri dalam menjatuhkan vonis kafir, bahkan beliau rahimahullah tidak berani memastikan kafirnya orang yang berdoa kepada selain Allâh Azza wa Jalla karena jahil, (misalnya berdoa kepada,-red.) penghuni kubur atau lainnya, jika tidak ada orang yang mengingatkannya. Begitu pula dengan Pemerintah Arab Saudi yang meneruskan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhâb rahimahullah ternyata tidak mengkafirkan para jama’ah haji yang berjuta-juta, bahkan justru terus meningkatkan pelayanan kepada para jama’ah haji ini.
Dan masih banyak lagi tuduhan yang diarahkan, namun tidak sejalan dengan fakta.
Semoga Allâh Azza wa Jalla membuka hati kita dan kaum Muslimin untuk senantiasa menerima kebenaran, meskipun berbeda dengan kebiasaan kita.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4439-wahhabi-antara-tuduhan-dan-fakta.html